"80% Penyakit Autoimun Terjadi pada Perempuan... Kenapa?"
Sebagai seorang Sifillah—perempuan yang sedang bertumbuh dan menata kehidupan dengan sadar—saya tercengang ketika mendengar sebuah paparan dari Dr. Gabor Maté dalam sebuah podcast. Paparan itu bukan hanya membuka pemahaman baru tentang penyakit autoimun, tetapi juga menampar kesadaran saya tentang bagaimana budaya, peran sosial, dan luka batin yang tak tersuarakan dapat menggerogoti tubuh perempuan secara perlahan.
Autoimun: Ketika Tubuh Menyerang Dirinya Sendiri
Dalam penjelasannya, Dr. Gabor Maté menyebut bahwa sekitar 80% penderita penyakit autoimun adalah perempuan. Ini bukan sekadar data statistik medis. Ini adalah suara tubuh yang selama ini tidak terdengar. Suatu alarm sistemik bahwa ada yang salah dalam pola hidup emosional dan sosial perempuan.
Autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh, yang seharusnya melindungi dari infeksi dan penyakit, justru menyerang jaringan sehat tubuh sendiri. Gejalanya bisa berupa kelelahan kronis, nyeri sendi, ruam, gangguan pencernaan, hingga depresi. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah: mengapa mayoritas penderita adalah perempuan?
Empat Pola Psikologis yang Mengikis Kesehatan Perempuan
Dr. Maté, dalam banyak karyanya termasuk When the Body Says No, menyoroti empat karakteristik psikologis umum yang kerap ditemui pada penderita autoimun, khususnya perempuan:
-
Lebih mengutamakan perasaan orang lain daripada dirinya sendiri.
Perempuan sering diajarkan untuk menjadi penjaga emosi keluarga, membuat mereka menekan kebutuhannya sendiri demi menjaga suasana tetap nyaman. -
Lebih fokus pada tugas dan tanggung jawab daripada kebutuhan pribadi.
Budaya patriarkal dan ekspektasi sosial menjadikan perempuan merasa "berharga" jika produktif dan melayani. Self-care dianggap egois. -
Kesulitan mengekspresikan kemarahan.
Mereka dibentuk untuk menjadi 'perempuan baik-baik', yang tidak boleh marah, tidak boleh membantah, tidak boleh kecewa terlalu keras. -
Merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain.
Mereka memikul beban emosional orang lain sebagai miliknya, dan merasa bersalah jika mengecewakan siapa pun.
Pola-pola ini, menurut Dr. Maté, menciptakan stres kronis. Dan stres yang tak dikelola dengan baik melemahkan sistem imun secara progresif. Inilah sebab mengapa penyakit autoimun bisa muncul bahkan tanpa sebab medis yang jelas—karena akar masalahnya bukan fisik, melainkan batin.
Lebih dari Hormon: Ketika Hati Ikut Sakit
Memang, dari sudut pandang medis, faktor hormonal (seperti estrogen), genetika, dan lingkungan juga berperan. Namun Dr. Maté menekankan bahwa luka emosional masa kecil, tekanan sosial, dan trauma tersembunyi adalah bahan bakar yang mempercepat kemunculan penyakit.
Penelitian menunjukkan:
-
Sebagian besar pasien autoimun mengalami stres emosional berat sebelum gejala muncul.
-
Perilaku self-silencing (memendam emosi dan kebutuhan) sangat berkorelasi dengan meningkatnya risiko gangguan imun.
-
Tubuh perempuan, yang secara budaya lebih dituntut untuk "menjaga harmoni", akhirnya memilih bicara melalui sakit.
Dalam kalimat yang menggugah, Dr. Maté menyimpulkan:
"Kesehatan tidak terpisah dari kehidupan batin. Tubuh kita sering menyuarakan apa yang tidak pernah kita ucapkan."
Insight dari Al-Qur'an: Perempuan yang Seimbang dan Sadar Diri
Dalam perspektif Islam, Al-Qur'an tidak pernah meremehkan peran emosional dan spiritual perempuan. Justru ada dorongan kuat untuk menjaga keselarasan antara jiwa dan tubuh. Salah satu ayat yang sangat relevan dalam konteks ini adalah:
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..."
(QS. Al-Baqarah: 195)
Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga diri—baik secara fisik maupun psikis. Menekan emosi, mengabaikan kebutuhan diri, dan hidup untuk menyenangkan orang lain secara berlebihan adalah bentuk kebinasaan yang halus namun nyata.
Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa:
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ini adalah panggilan bagi setiap perempuan untuk mulai menata ulang relasi dengan dirinya sendiri: mengenali luka, menyuarakan kebutuhan, membangun batasan, dan berhenti memikul apa yang bukan miliknya.
Menjadi Sifillah: Tetap Waras dan Imun Kuat
Sebagai perempuan yang sedang bertumbuh, berikut adalah sikap yang dapat diambil agar tetap waras, selaras, dan menjaga kekuatan imun:
-
Berani berkata “tidak” dengan kasih.
Ini bukan bentuk egoisme, tapi bentuk cinta pada diri sendiri. -
Ekspresikan emosi dengan sehat.
Tulis, bicara, menangis, berdoa. Jangan biarkan emosi tinggal diam dalam tubuh. -
Rutin self-check-in.
Tanyakan setiap hari: Apa yang sedang aku rasakan? Apa yang aku butuhkan? Ini adalah bentuk self-awareness yang melindungi jiwa. -
Bangun support system yang aman.
Bertemanlah dengan orang yang membuatmu boleh jujur, tidak harus kuat setiap waktu. -
Rawat spiritualitas dengan kesadaran.
Dzikir, shalat, tilawah—bukan sebagai kewajiban semata, tapi sebagai ruang hening untuk menyembuhkan luka batin.
Kenapa Imun Perempuan Harus Kuat?
Karena dalam banyak peran yang dijalani—ibu, istri, anak, pekerja, pengasuh—perempuan adalah pilar emosi dari banyak lingkaran kehidupan. Tubuh yang kuat akan menopang peran. Tapi jiwa yang sehat akan menjaga peran itu tetap manusiawi, bukan menjadi beban yang menggerogoti diri.
Penutup:
Tulisan ini bukan sekadar edukasi medis atau spiritual, melainkan ajakan untuk kembali pulang pada diri sendiri. Menjadi perempuan yang sehat bukan tentang menyenangkan semua orang, tetapi tentang menyelamatkan diri dari luka yang terlalu lama dibungkam.
Bukan tugasmu untuk selalu kuat, tapi kamu punya hak untuk tetap utuh.
Referensi:
-
Dr. Gabor Maté, When the Body Says No: The Cost of Hidden Stress
-
Penelitian tentang self-silencing and autoimmune disease: Jack, Dana C. (1991). Silencing the Self: Women and Depression.
-
Al-Qur'an al-Karim, QS Al-Baqarah: 195 & QS Ar-Ra’d: 11.
Rekomendasi BukuBerdamai dengan Diri
MERANGKUL KECEWA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar