22 Oktober 2025

Tenang yang Dicari, Gelisah yang Ditemui: Belajar Hal Baru dan Proses Menjadi Diri yang Lebih Sadar

Dari Gelisah Menuju Damai (Sifillah’s Note)

Bismillahirrahmanirrahim.
Ada masa di mana kita merasa sudah cukup tahu banyak hal, tapi jiwa tetap resah. Ada pula waktu ketika kita sibuk menuntut ilmu, mengikuti kelas demi kelas, namun hati tak juga tenang. Hingga akhirnya kita sadar — belajar bukan hanya soal menambah pengetahuan, tapi membentuk diri yang baru.

Sebagaimana air yang terus mengalir tidak akan berbau, demikian pula jiwa yang terus belajar akan senantiasa hidup dan segar. Tapi syaratnya satu: belajar dengan kesadaran, bukan sekadar memenuhi dahaga ego yang ingin tahu.

Webinar malam itu, bersama Bunda Aniqq Al Faqiroh, menjadi oase bagi lebih dari seribu perempuan yang hadir. Ada yang datang karena lelah, ada yang rindu pada Allah, dan ada pula yang hanya ingin tenang — tapi justru menemukan gelisah.

Fenomena Manusia Modern: Sibuk, Tapi Lelah

Ironisnya, di era serba cepat ini, manusia justru semakin lelah.
Bukan karena kurang istirahat, tetapi karena kelelahan mental.
Ketika penat datang, banyak yang bukan beristirahat, tapi mencari pelarian lewat layar. Kita scrolling tanpa arah, menatap notifikasi tanpa jeda, dan mengira kedamaian bisa ditemukan di dunia digital.

Padahal, ketenangan tak mungkin lahir dari layar yang terus menyala.

1. Overprotective: Saat Hati Terlalu Dijaga

Kita sering berpikir bahwa ketenangan berarti tidak pernah terganggu.
Padahal, ketenangan sejati lahir ketika kita mampu tetap damai meski ada yang mengganggu.

Fenomena overprotective kini begitu nyata: sedikit berbeda pendapat terasa menyakitkan, sedikit teguran dianggap serangan.
Kita terlalu sibuk menjaga diri dari luka, hingga lupa bahwa rasa tidak nyaman adalah guru kehidupan.

“Kalau hatimu terlalu dijaga dari goresan, ia takkan pernah belajar tentang lapang dan sabar.”

Luka, kecewa, dan perbedaan justru melatih jiwa agar lentur dan dewasa.

2. Manusia Scrolling dan Kebocoran Energi

Salah satu penyebab utama batin yang gelisah adalah kebiasaan scrolling tanpa sadar.
Kita merasa tenang dengan “melihat sesuatu,” padahal setiap geseran layar mencuri sebagian fokus dan energi mental.

Pernahkah engkau merasa gelisah ketika ponsel tak di tangan?
Atau resah memikirkan pesan yang belum terbaca?
Itulah tanda energi bocor — batin kehilangan kendali atas arah perhatiannya.

Solusinya bukan memusuhi teknologi, tetapi menundukkannya.
Cobalah detoks digital: satu jam tanpa ponsel sebelum tidur, atau satu hari dalam sepekan tanpa media sosial.
Kamu tak kehilangan dunia — justru menemukan dirimu kembali.

๐Ÿ“– Baca juga: Detoks Digital: Kunci Tidur Nyenyak dan Batin Tenang

3. Tidur dan Kualitas Pemulihan Diri


Tidur adalah bentuk ibadah paling sunyi.
Namun, banyak dari kita tidur dengan otak yang masih berisik.

Penelitian menunjukkan, agar otak mencapai fase tidur nyenyak (deep sleep), setidaknya perlu 30 menit tanpa paparan gawai.
Jika ini diabaikan, tubuh memang terlelap, tapi jiwa tetap berjaga.
Kita bangun dalam keadaan lelah, mudah tersinggung, dan sulit fokus.

Bunda Aniqq mengingatkan:

“Letakkan ponselmu seperti engkau meletakkan urusan dunia. Beristirahatlah, biar Allah yang bekerja malam ini.”

Badai Informasi dan Nafsu Belajar Tanpa Kesadaran

Kelelahan manusia modern bukan lagi kelelahan fisik, melainkan akibat badai informasi.
Kita terus dijejali konten, kelas, webinar, dan bacaan — semuanya tampak penting, hingga tak tahu mana yang perlu diserap.

Ilmu adalah cahaya, tapi jika datang bertubi-tubi tanpa proses pencernaan, ia bisa menyilaukan.

Kata Bunda:

“Belajar itu bukan menelan semua roti di meja, tapi menikmati sepotong dengan penuh kesadaran.”

Belajar terlalu cepat tanpa merenungi satu per satu akan membuat hati kenyang tapi tidak tercerahkan.
Inilah yang disebut nafsu ilmu — semangat tinggi tanpa kesadaran mendalam.

Fleksibilitas: Ilmu yang Dihayati, Bukan Dihafal

Mereka yang terbiasa menelan informasi mentah akan mudah menghakimi perbedaan.
Padahal, setiap orang punya jalan belajar yang berbeda.
Kebekuan berpikir membuat kita cepat marah dan sulit menerima,
sedangkan kelapangan dada membuat kita tenang dan dewasa.

Ilmu sejati tidak menjadikan kita keras kepala, tapi lembut dalam berpikir dan lapang dalam hati.

Overthinking: Musuh dalam Pikiran yang Tak Terlihat

Bunda Aniqq mengajak peserta menengok musuh batin yang paling halus: overthinking.

Overthinking membuat pikiran terus berputar antara masa lalu dan masa depan — dua tempat di mana kita tidak sedang hidup.
Tubuh ada di sini, tapi jiwa tersesat di waktu lain.

“Yang berat itu bukan menjalani, tapi memikirkan yang belum dijalani.”

Semakin kita mencoba memastikan semuanya, semakin kita terpenjara oleh kecemasan.
Tubuh pun bereaksi: jantung berdebar, perut melilit, dada sesak — tanda bahwa pikiran sudah menciptakan realitas palsu.

Trauma, Pikiran, dan Proses Penyembuhan


Pikiran yang berisik sering kali bukan karena banyak masalah, tapi karena ada luka lama yang belum selesai.
Overthinking adalah sinyal, bukan musuh.

Alih-alih mengusir pikiran negatif, cobalah bertanya dengan lembut:

“Bagian mana dari diriku yang sedang minta disembuhkan?”

Ketenangan tidak datang dari lari, tapi dari keberanian menatap luka.

๐Ÿ“– Baca juga: Berhenti Menyiksa Diri dengan Pikiran Sendiri

Kesadaran Akan Ketidakpastian Hidup

Sesi ditutup dengan kalimat yang menyentuh:

“Semakin kita ingin memastikan hidup, semakin kita terpenjara oleh kecemasan.”

Hidup adalah perjalanan yang penuh perubahan.
Yang lentur akan bertahan, yang kaku akan patah.

Menjadi lentur bukan berarti tidak punya arah,
tapi mampu beradaptasi dengan segala kemungkinan yang Allah hadirkan.

Penutup — The New Me: Dari Gelisah Menuju Tenang


Ketenangan bukan hadiah, tapi buah dari proses mengenal diri dan mengenal Allah.
Ia tumbuh saat kita berhenti berlari, dan mulai mendengar suara hati.

Belajar hal baru bukan tentang menambah isi kepala, melainkan membentuk jiwa yang baru.
Dan ketika kita menguasainya, kita tak lagi menjadi orang yang sama.

๐ŸŒฟ
“Tenang yang Dicari, Gelisah yang Ditemui” mengajarkan kita bahwa dalam setiap kegelisahan, ada pintu menuju kedewasaan batin.
Karena setiap kali kita belajar dengan hati, di situlah lahir diri yang baru — The New Me.

Kita tak bisa benar-benar bertumbuh tanpa pernah kecewa.
Karena di balik setiap gelisah, ada pelajaran yang sedang menuntun kita untuk mengenal diri — dan mengenal Allah — lebih dalam.

Jika hatimu sedang belajar berdamai dengan kecewa,
izinkan perjalanan ini menemanimu… ๐ŸŒท

๐Ÿ“– Baca e-book reflektif “Merangkul Kecewa”
Sebuah perjalanan batin bersama Bunda Aniqq Al Faqiroh

“Kecewa itu bukan musuh. Tapi sinyal… bahwa ada harapan yang keliru arah, dan ada hati yang sedang butuh pulang.”

๐ŸŒฟ Download dan baca di sini:
๐Ÿ‘‰ Merangkul Kecewa 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Grounding: Saat Jiwa Kembali Menyentuh Bumi dan Menyapa Allah

Grounding bukan sekadar teknik menenangkan diri. Dalam perspektif Islami, grounding adalah perjalanan jiwa kembali berpijak — menyentuh bumi...

Popular Posts