“Aku baik-baik saja kok...”
Kalimat sederhana ini sering kita ucapkan—padahal di baliknya tersembunyi kemarahan, kelelahan, dan kesedihan yang tak pernah diberi ruang. Kita tersenyum pada tetangga, memeluk anak dengan sabar, bahkan melayani keluarga dengan sepenuh tenaga. Tapi di dalam hati, ada bagian dari diri kita yang sesak, capek, dan menangis dalam diam.
Kenapa hati ini rasanya lelah terus-menerus, meski dari luar kita tampak ramah?
Antara Senyum dan Luka yang Tak Terlihat
Menjadi seorang ibu bukan hanya soal peran, tetapi juga tentang jiwa yang membawa rekaman masa lalu. Kadang kita marah, tapi tak tahu dari mana asalnya. Kadang kita mudah tersinggung, tapi tak sempat menyelami penyebabnya. Di balik semua itu, ada luka yang mungkin belum sempat kita sembuhkan—luka dari pengasuhan masa lalu, luka dari suara-suara yang dulu menekan dan kini diam-diam mengatur respon kita sebagai orang tua.
“Kamu harus nurut.”
“Anak baik itu nggak banyak nanya.”
“Mama capek. Jangan bikin ribut.”
Suara-suara ini hidup dalam diri. Menjadi pola pikir. Menjadi cara kita merespons anak. Dan tanpa sadar, kita ulang kembali pola itu… meski dengan wajah yang tampak sabar.
Bukan Salah Siapa-siapa, Tapi Tanggung Jawab Kita untuk Sadar
Refleksi ini bukan ajakan menyalahkan siapa pun. Ini tentang keberanian untuk jujur: bahwa ada bagian dari diri kita yang selama ini hanya ingin dimengerti. Yang marah bukan karena anak kita salah, tapi karena luka kita belum selesai. Dan luka yang belum dipahami, sering kali menjelma menjadi ekspektasi yang tak realistis, kemarahan yang meledak, atau kelelahan yang membungkam suara hati.
Anak Tidak Butuh Ibu yang Sempurna. Mereka Butuh Ibu yang Pulih.
Seringkali, kita terlalu ingin menjadi ibu yang ideal. Sabar. Siap siaga. Ramah dan penuh cinta. Tapi di balik semua itu, kita menyimpan tangis, marah, dan lelah yang tak pernah diizinkan muncul ke permukaan.
Padahal… pulih bukan berarti sempurna.
Pulih adalah keberanian untuk jujur.
Pulih adalah kemauan untuk mengenali luka.
Pulih adalah perjalanan menuju versi diri yang lebih utuh dan sadar.
Contohnya sederhana:
Dulu, saat anak salah, kita langsung marah.
Sekarang, kita bisa duduk dan berkata: “Kamu bisa cerita. Mama siap dengar.”Dulu, kita merasa harus selalu kuat.
Sekarang, kita izinkan diri untuk lemah dan minta tolong.
Memutus Rantai Luka Pengasuhan
Pola pengasuhan bukan warisan yang harus dilanjutkan. Kita bisa menjadi titik berhenti dari rantai luka. Kita bisa menjadi ibu yang hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Saat kita memilih untuk menyembuhkan diri, kita sedang melindungi anak-anak dari luka yang seharusnya bukan milik mereka.
Menyadari bahwa respon kita hari ini sering kali adalah gema dari masa lalu, adalah langkah awal. Langkah untuk menciptakan rumah yang lebih hangat, lebih aman, dan lebih manusiawi—bagi anak, dan bagi diri sendiri.
Pulang ke Diri Sendiri: Langkah Awal Menuju Keutuhan
Jika dari tadi ada bagian dari tulisan ini yang membuatmu ingin menangis, atau merasa lega karena akhirnya merasa dipahami—itu tandanya ada bagian dari dirimu yang sedang mengetuk, minta dipeluk.
Peluklah dirimu hari ini. Dengarkan suara kecil itu. Beri ruang untuk tumbuh, bukan untuk dituntut sembuh seketika.
Karena ketika kita memilih untuk pulih, kita sedang membuka jalan baru. Jalan yang membawa harapan. Jalan yang membawa cahaya. Jalan yang membawa anak-anak kita ke masa depan yang lebih utuh—bersama ibu yang memilih sadar dan hadir.
Dan perjalanan itu… bisa dimulai sekarang. Di sini. Dengan keikhlasan, dan dengan cinta.
Satuhati’s Note:
Jika tulisan ini menyentuh hatimu, dan kamu merasa ingin lebih dalam mengenali luka serta belajar memulihkan diri dalam peran sebagai ibu, kamu bisa bergabung dalam program Pulih dari Trauma Masa Kecil dan Luka Pengasuhan. Bersama komunitas yang aman dan materi yang reflektif, perjalanan pulih bisa dimulai tanpa tekanan, dengan kasih sayang untuk diri sendiri.
🕊️ Karena anak-anak kita berhak tumbuh dari ibu yang memilih pulih, bukan dari ibu yang pura-pura kuat.
📌 Klik di sini untuk informasi program
---------------
"Merangkul Kecewa bukan akhir, tapi awal dari perjalanan menuju hati yang lebih lapang
- Aniqq Al Faqiroh -
Buku ini bukan tentang melupakan luka,
tapi memahami maknanya.
📥 Baca Selengkapnya di sini: MERANGKUL KECEWA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar